Thursday 19 May 2016

Sejarah di Museum La Galigo, Fort Rotterdam

Fort Rotterdam, Makassar, Indonesia
09 Mei 2016
Puas menikmati kesyahduan Pantai Losari, saya pun beranjak dari tempat duduk. Melangkahkan kaki menyusuri Jalan Penghibur ke arah utara. Melewati teras barisan ruko, hotel, dan kadang bersaing dengan kendaraan bermotor yang searah memperebutkan tepian Jalan Penghibur yang tanpa trotoar pejalan kaki. “Jangan hiraukan persimpangan jalan, teruslah berjalan lurus, hingga menemukan beton kata berwana merah “fort rotterdam” di sisi kanan jalan!”. Inilah tujuan saya : Fort Rotterdam!. Salah satu objek wisata  sejarah di Kota Makassar. Terletak di Jalan Ujung Pandang, hanya berjarak sekitar kurang lebih 1 km dari Pantai Losari.

Ketika berdiri di depan gerbang masuk benteng ini, pikiran saya terbang ke Rotterdam, kota pelabuhan di Negeri van Orange sana. Memasuki gerbang, kita akan melihat kompleks bangunan beraksitektur bangunan Eropa. Ya, Fort Rotterdam yang kita lihat seperti sekarang ini adalah bangunan yang dibuat oleh Belanda.

Sebenarnya nama asli dari Fort Rotterdam adalah Benteng Ujung Pandang. Dulunya merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo (lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar) yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9 pada abad ke-15. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, konstruksi benteng diganti menjadi batu padas yang bersumber dari pegunungan karst yang ada di daerah Maros. Jika dilihat dari udara, Fort Rotterdam berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Makna bentuknya mengacu pada filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pada tahun 1667, Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani Perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan kerajaan untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah pada saat itu) sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Begitulah sejarah singkat Fort Rotterdam.

Kompleks bangunan bergaya Eropa di Fort Rotterdam
Nah, tak lengkap rasanya berkunjung ke Fort Rotterdam bila tak menjelajah Museum La Galigo.  Museum La Galigo menempati dua bangunan di kompleks Fort Rotterdam. Keduanya merupakan gedung terpisah yaitu bangunan D (di sebelah kiri gerbang masuk) dan M (di sebelah kanan gerbang masuk). Museum ini menyimpan sejarah kebesaran Makassar dan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan. 

Maket Fort Rotterdam
Museum La GaligoUntuk bisa masuk ke museum ini pengunjung harus membeli tiket masuk ; untuk dewasa 5.000 IDR/orang, anak-anak 3.000 IDR/orang dan untuk pengunjung mancanegara (foreigner) 10.000 IDR/orang. Sangat terjangkau!

Apa saja yang ada di Museum La Galigo?Berikut informasinya!

Museum La Galigo pada Bangunan D
Begitu memasuki gedung museum kita akan menemukan sebuah papan informasi yang menceritakan apa sebenarnya La Galigo itu.

Museum Sulawesi Selatan ini diberi nama La Galigo atas saran seorang seniman, dengan pertimbangan nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo atau sureq Galigo merupakan karya sastra besar dunia, memiliki panjang sekitar 300 baris, dua kali lebih panjang dibanding epik Mahabrata dan Ramayana serta saja-sajak homerus dari Yunani. La Galigo berisi tentang genesis orang bugis dan filosofis kehidupan manusia, mengandung sebagian besar puisi yang ditulis pada abad ke-13 dan 15 dalam naskah lontarak kuno bahasa Bugis. Menurut Drs.H. Muhammad Salim, naskah tua orang Bugis Sulawesi Selatan ada dua macam yaitu naskah Galigo (sureq salleayyang) dan lotarak. Sureq Galigo mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai bacaan hiburan,  bacaan upacara, sebagai mitos tuntunan hidup.

Naskah Galigo mulanya dikumpulkan oleh raja Colliq Pujie dan lembar-lembar daun lontar, beliau hidup pada tahun 1812-1876 dan statusnya sebagai raja tanete, pada saat itu kabupaten barru masih terbagi empat : Kerajaan Tanete, Balusu, Mallusettasi dan Barru. Colliq Pujie sangat berjasa telah menyelamatkan naskah-naskah tersebut dan mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid naskah dengan total 2.815 halaman. Ia memulai mengerjakan naskah tersebut tahun 1852 atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.RB.F Matthes.

Salah satu koleksi naskah kuno Museum La Galigo Provinsi Sulawesi Selatan yang telah mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai warisan dunia oleh UNESCO berjudul “SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAW”. Dalam epik ini Sawerigading merupakan tokoh paling banyak berperan mengisi alur cerita dari awal hingga akhir. Ia merupakan cikal bakal dari segala kejadian tentang alam, manusia, dan kehidupannya sebagai turunan dewa Sawerigading memiliki watak yang berdimensi ganda antara cinta dan dendam, benci dan sayang, tegar dan cengeng, lembut dan kasar, tergantung kondisi yang dihadapi serta rangsangan yang diterima dari lingkungannya. Watak tentang nilai-nilai kejujuran (lempu) ketegasan (getteng), keberanian (warani) dan nilai etos kerja (reso) yang tinggi tercermin dalam kehidupannya.

Naiklah ke lantai 2! Dan mulailah menjelajah ruangan yang ada. Terdapat penjelasan lisan dan visual upacara adat setiap fase kehidupan manusia yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal Sulawesi Selatan.

Ruangan Museum La Galigo, bangunan D lantai 2
Upacara kelahiran...Pada masyarakat Bugis Makassar di daerah Sulawesi Selatan sebelum melahirkan diadakan upacara maccera wettang, yang biasa juga disebut mappasilli dan upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan memasuki bulan ke tujuh. Pada upacara mappasili, wanita hamil dimandi dengan air kembang dilengkapi dengan kue-kue tradisional seperti onde-onde, cucuru, cangkuning, baje yang terbuat dari ketan dilengkapi dengan pisang raja dan buah-buahan yang kecut atau asinan, diatur di atas pattapi/nyiru (nampan) dengan harapan agar terhindar dari segala roh-roh jahat yang bisa berakibat buruk pada kehamilan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang Sanro (dukun) yang membacakan doa keselamatan.

Bagi masyarakat Bugis Makassar, setelah kelahiran anak mereka maka diadakanlah selamatan atau aqiqah sesuai ajaran dalam agama Islam dan pada saat ini pula biasanya diadakan upacara Mappaenre Tojang, dimana untuk pertama kalinya anak bayi dinaikkan di atas ayunan.
  1. Penne Allosengne, berfungsi sebagai tempat membersihkan/memandikan bayi yang baru lahir pada suku Bugis khususnya bagi kalangan bangsawan.
  2. Tenun Gambara,  berfungsi sebagai selimut pada saat upacara kelahiran di daerah Bulukumba.
Kiri ke kanan : Penne Allosengne & Tenun Gambara
Upacara perkawinan...Adapun rangkaian prosesi upacara perkawinan pada suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan sebagai berikut :
Tahap mammanuk-manuk yaitu merupakan awal untuk mengetahui apakah seseorang gadis sudah mempunyai tambatan hati atau belum.
Tahap massuro (peminangan) dimana pada tahapan ini orang tua calon pengantin laki-laki mengutus 3-4 orang kerabat untuk mengajukan pinangan secara resmi ke orang tua gadis.
Tahap mappettu ada merupakan tahap pengambilan kata sepakat antara keluarga pihak calon pengantin laki-laki dengan keluarga pihak calon pengantin perempuan.
Tahap mappaenre balanca (uang belanja), tahap ini keluarga pihak calon pengantin laki-laki menyerahkan kepada pihak orang tua calon pengantin perempuan sejumlah uang belanja sebagaimana telah disepakati bersama tahap mappetu ada.
Tahap mappaccing (malam pacar), pada tahap ini biasanya diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dilanjutkan dengan a’barasanji. Setelah itu calon pengantin diberikan lumatan daun pacar (daun inai) pada telapak tangannya oleh tamu yang diundang atau diminta kesediannya oleh pihak orang tua calon pengantin. Adapun perlengkapan pada saat upacara mappacing/malam pacar adalah ;
  1. Daun pacar atau daun inai yang dilumat sampai halus, memilki arti atau melambangkan kesiapan calon mempelai untuk memasuki kehidupan rumah tanggaa dalam keadaan bersih.
  2. Bantal yang digunakan sebagai penyangga kedua telapak tangan pada saat calon pengantin melakukan upacara mappacing yang melambang harkat, kehormatan dan kemuliaan rumah taangga.
  3. Sarung sutera 7 (tujuh) lembar, sarung melambangkan harga diri dan angka 7 (tujuh) merupakan simbol doa dan harapan supaya berhasil.
  4. Pucuk daun pisang merupakan simbol pengharapan yang melambangkan kehidupan rumah tangga yang senantiasa tumbuh dan berkembang.
  5. Daun nangka melambangkan cita-cita, dambaan dan harapan untuk mencapai kebahagiaan.
  6. Taibani (lilin merah) melambangkan suami istri sebagai suluh penerang bagi kehidupan rumah tangganya.
  7. Benno ase, melambangkan harapan dan doa senantiasa mengalami perkembangan dan kemajuan di masa datang.
Tahap menrek kawin (nikah), tahapan ini adalah diadakannya aqad nikah yang dilakukan di rumah calon pengantin perempuan dengan diantar oleh banyak orang.
Tahap tudang botting (perjamuan), pada tahap ini kedua pengantin duduk bersanding di atas pelaminan.
Tahap mapparola, tahapan ini pihak pengantin perempuan mengikuti suaminya untuk berkunjung ke rumah mertua.

Upacara kematian...Jika bagi masyarakat Bugis Makassar upacara perkawinan selalu diadakan sangat meriah baik itu di kalangan masyarakat biasa dan masyarakat golongan bangsawan dengan rangkaian upacara adat. Pada masyarakat suku Toraja upacara perkawinan tidak semeriah dengan yang dilakukan oleh suku Bugis Makassar. Mereka lebih memeriahkan upacara kematian. Penjelasan lanjutan dapat kita baca di bangunan M lantai 2, Museum La Galigo.

Dari bangunan D, saya beranjak ke bangunan M, Museum La Galigo. Apa saja yang ada di bangunan M, berikut ulasannya.

Museum La Galigo pada Bangunan M

Ruang Sejarah Kebudayaan dan Lintas Peradaban
Menampilkan sejarah kebudayaan manusia dari zaman prasejarah (zaman batu) hingga ditemukannya bukti sejarah pertama kehidupan manusia di Sulawesi Selatan.

Ruang Budaya Pedalaman Perkampungan
Ruang budaya pedalaman perkampungan
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri dari etnik Bugis, Makassar dan Toraja. Orang Bugis mendiami Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang (peralihan Bugis Toraja dinamakan orang Duri atau Massenrengpulu memakai dialek khusus yakni bahasa Duri). Luwu, Pare-Pare, Barru, Pangkajenne Kepulauan dan Maros (peralihan Bugis Makassar memakai bahasa Bugis & Makassar).

Orang Makassar mendiami daerah Kab. Gowa, Talakar, Keneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkajenne (peralihan Bugis dan Makassar), Selayar meskipun memiliki dialek khusus namun masih dianggap orang Makassar. Orang Toraja ialah penduduk yang mendiami Kab. Tana Toraja dan Mamasa (Sulawesi Barat) biasanya disebut Toraja Sa’dan dan sebagian mendiami Sulawesi Tengah.

Bentuk desa di Sulawesi Selatan adalah gabungan sejumlah kampung lama, pusat dari kampung lama disebut possi tana merupakan tempat keramat ditandai dengan pohon beringin besar atau terdapat saukang (rumah pemujaan). Kampung lama dipimpin oleh seorang matoa atau jannang dibantu oleh sariang atau parennung. Suatu gabungan kampung disebut wannua (Bugis), pa’rasangan atau bori’ (Makassar), orang Toraja menyebut tondok. Pemimpin wanua disebut arung palili atau Sulewatang (Bugis) dan gallarang atau karaeng (Makassar) pada manusia sekarang wanua telah menjadi kecamatan.

Rumah pada etnik Bugis Makassar biasanya ditata berderet/berkelompok menghadap ke timur & barat, apabila terdapat sungai maka diusahakan rumah-rumah dibangun membelakangi sungai sedangkan pada suku Toraja rumah dibangun menghadap ke utara. Rumah disebut bola (bugis), balla (Makassar) dan tongkonan (Toraja).

Mata pencaharian penduduk umumnya adalah petani yang berada di pegunungan dan pedalaman terpencil yang berada di daerah pantai bekerja sebagai nelayan. Mata pencaharian lainnya sebagai tukang kayu, pandai besi, membuat kerajian tangan seperti menenun bagi ibu rumah tangga, membuat anyaman, tembikar, beternak dan lain sebagainya.

Di Sulawesi Selatan khususnya pada Bugis Makassar masih melaksanakan sederetan upacara yang berhubungan dengan daur hidup manusia sebagai peralihan dari suatu fase ke fase berikutnya dimulai dari masa kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak, upacara perkawinan dan kematian. Pada suku Toraja dikenal kepercayaan aluk todolo yaitu aluk rambi tuka adalah upacara keselamatan dalam kehidupan dan upacara aluk rambu solo adalah upacara kematian yang sangat meriah. Keseluruhan rangkain upacara ditandai pula dengan hadirnya berbagai macam alat musik tradisional seperti suling, gendang, keso-keso, ana baccing, gong, kecapi, lesung dan lain-lain sebagai kesempurnaan upacara adat tersebut.
Sekilas tentang sutera di Sulawesi Selatan…Sutera Sulawesi Selatan dikenal sejak adanya hubungan perdagangan dengan China beratus tahun yang lalu dan diperkirakan berkembang sekitar abad ke-15 dan 16. Terbukti dengan ditemukannnya peninggalan keramik dan sutera sebagai komoditi perdagangan Sulawesi Selatan.
Dalam sejarah tenun Sulawesi Selatan dikenal beberapa corak tradisional terutama pada tenunan sarung Bugis Makassar yaitu :
  1. Curek Renni/Curak Caddi (Bugis Makassar) yaitu motif berupa kotak-kotak kecil.
  2. Curek Tengnga/Curek gambere/Curak Tangnga (Bugis Makassar) adalah motif kotak-kotak sedang
  3. Curek Lebba/Curak Labba (Bugis/Makassar) yaitu motif berupa kotak besar
  4. Curek Tettong (Bugis) adalah motif garis-garis vertikal
  5. Curek Makkalu (Bugis) adalah motif garis-garis horisontal
Perkembangan selanjutnya dikenal desain dengan teknik pakan tambahan (subbi) dengan menambahkan benang emas atau benang perak, selain itu juga dikenal motif tumpal (cobo-cobo) umumnya menghias pada bagian belakang kepala sarung.
Aktivitas menenun merupakan salah satu mata pencaharian sampingan bagi kaum wanita pada masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di Kab. Wajo (Sengkang), Soppeng, Bone dan Gowa.
Koleksi tenun tradisional Sulawesi Selatan
Bentuk Wadah Kubur di Toraja (Minatur Erong dan Tau-Tau)….Bagi orang Toraja, seseorang yang telah meninggal dunia dikuburkan di Liang dengan mempergunakan beberapa jenis bentuk kubur, baik mempergunakan wadah seperti Erong maupun tanpa wadah sesuai dengan status sosialnya dan aturan adat yang bersumber dari Aluk Todolo. Untuk keselamatan arwah yang meninggal sampai ke alam Puya diadakan pemotongan hewan kerbau dan babi sebanyak mungkin bagi keluarga bangsawan. Bentuk wadah penguburan di Toraja antara lain;
  1. Liang sillik (mayat dimasukkan ke selah-selah batu) dan diperuntukkan bagi orang berasal dari strata sosial rendahan atau tanak kua-kua.
  2. Liang tokek (erong digantung) berbentuk persegi diperuntukkan bagi kelas sosial kelas menengah (tanak karurung).
  3. Wadah erong berbentuk kerbau diperuntukkan bagi keluarga bangsawan (tanak bassi) dan bangsawan tinggi (tanak bulaan), erong berbentuk perahu diperuntukkan bangsawan tinggi, dianggap bahwa pertamakali datang ke daerah tersebut atau pendiri kampung. Wadah kubur ini biasanya digantung di langit-langit gua atau ceruk.
  4. Liang pak dan Liang patane, semua lapisan masyarakat dikuburkan pada liang tersebut, yang membedakan hanya besar kecilnya liang berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga si mati. Masyarakat Toraja pada saat penguburan biasanya menggunakan wadah erong dan patti to matte, baik pada penguburan pertama maupun untuk penguburan kedua. Penguburan kedua hanya berlaku bagi para bangsawan tinggi dan keluarganya.
Letak kubur dan wadah Erong menghadap ke utara, yaitu kaki di utara dan kepala di selatan, mereka beranggapan bahwa tempat bersemayamnya para dewa di arah utara. Upacara kematian atau Rambu Solok di Tana Toraja sangat dibesar-besarkan, ini dilihat dengan pengorbanan hewan kerbau, babi dan diikuti dengan acara ritual seperti adu kerbau, sisemba dan tarian ma’badong.

Miniatur upacara kematian pada masyarakat Toraja

Ruang Budaya Pedalaman Agraris
Ruang budaya pedalaman agraris
Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya terutama yang mendiami daerah pegunungan dan pedalaman memilki mata pencaharian sebagai petani. Petani secara umum dapat diartikan sebagai orang-orang yang senantias terlibat dalam lapangan kerja bercocok tanam dimana sebagian atau sepenuhnya dari pada kebutuhan hidupnya dipenuhi melalui sektor pertanian.

Di Provinsi Sulawesi Selatan mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani di sawah dan ladang. Pekerjaan petani sawah disebut pallaongruma atau pa’ galung dan yang bekerja di ladang atau di kebun disebut pa’ dare. Sistem pengetahuan bercocok tanam yang telh mengakar diwariskan secara turun menurun seperti membuat sawah berpetak-petak hanya dibatasi oleh pematang, mengolah lahan dengan peralatan yang sangat sederhana seperti rakkala (bajak), parang atau sabit. Di samping itu mereka membuat irigasi untuk mengairi sawah-sawah dan menanam padi secara bergiliran dengan tanaman palawija. Kesemuanya dikerjakan dengan teknik bercocok tanam tradisional berdasarkan cara-cara intensif yang mengandalkan tenaga manusia dan hewan dalam sejarah pertanian oleh ahli Antropolog Eric R.Wolf menyebut sebagai ekotipe paleoteknik.

Tipe budaya agraris Bugis Makassar adalah tipe pedesaan dengan bercocok tanam di ladang ataau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa komuniras petani dengan stratifikasi sosial yang sedang dengan masyarakat kota yang menjadi orientasinya.

Dalam mitologi orang Bugis Makassar sehubungan upacar pertanian sawah terdapat kepercayaan tentang putri titisan dewa “Sang Hyang Sri” atau sangessari yang dikawal oleh kucing belang berwarna kuning kemerah-merahan yaitu Meongpalo Karellae. Dipercaya bahwa puteri batara guru yang bernama I Oddang Riu meninggal sejak masih bayi di atas pusaranya tumbuh padi yang dinamakan Sangessari (raja rumput) adalah jelmaan puteri I Oddang Riu yang oleh sebagian besar masyarakat petani dimuliakan lewat upacara serimonial “Maddoja bine”. Upacara ini untuk mempersiapkan bibit yang telag direndam sehari semalam kemudian diletakkan di tengah rumah selama 3-7 hari, malamn hari sebelum bibit disemaikan diadakan pembacaan Sure Selleyang atau sure bine yang mengisahkan tentan Sang Hyang Sri atau Sangessari. Kepercayaan lainnya adalah tentang hari-hari baik (kutik) sebagao pedoman untuk memulai segala aktivitas termasuk untuk memulai kegiatan di sawah dengan harapan mendatangkan hasil yang lebih baik.
Hari-hari baik dan buruk untuk turun ke sawah dalam seminggu
Peralatan Panen….Peralatan tradisional untuk panen antara lain;
  1. Rakkapeng (Bugis) atau ani-ani adalah alat pemotong padi, biasanya dipakai untuk panen padi ketan yang diikat menjadi beberapa bagian untuk memudahkan diangkut ke lumbung padi petani.
  2. Kandao (Bugis) atau sabit berfungsi sebagai alat pemotong tangkai padi, untuk kemudian dirontokkan bulir-bulirnya dengan mempergunakan alat passampa (Bugis).
  3. Palo (Bugis) atau tutup kepala, dipakai sebagai alat pelindung dari terik matahari, ada yang terbuat dari daun nipah ada pula dari kulit bambu yang dianyam.
Jenis-Jenis Lesung…Peralatan pengolahan padi menjadi beras dan tepung yang terdiri dari lesung batu dan kayu. Lesung batu berfungsi sebagai penggilingan untuk membuat beras jagung dan tepung kue tradisional yang dikenal dengan nama putu pesse (Bugis). Lesung kayu berfungsi untuk menumbuk padi menjadi beras atau tepung. Peralatan pengolahan padi ini dapat ditemukan di seluruh daerah di Sulawesi Selatan.

Kepercayaan Tradisional…Beberapa kepercayaan tradisional masih mewarnai kehidupan masyarakat petani di Sulawesi Selatan terutama kepercayaan tentang hari-hari baik untuk memulai aktivitas seperti waktu penyediaan bibit, waktu turun ke sawah sampai kepada waktu yang tepat untuk memulai panen. Keseluruhan dari kepercayaan tersebut didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipatuhi untuk menghindari kegagalan dan malapetaka. Kepercayaan tradisional yang hidup pada masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan suku Bugis Makassar khususnya, terhimpun dalam naskah lontara “Kutika dan naskah “Meong Paloe” yang mengisahkan tentang dewi padi “Sang Hyang Sri” atau “Sangessari” yang dikawal kucing belang dalam pengembarannya. Penghormatan terhadap Desi padi ditunjukkan lewat upacara “maddoja bine” atau “mappatinro bine” yaitu upacara menyiapkan benih yang akan disemaikan di sawah.

Peralatan ke Ladang/Kebun…Peralatan petani untuk beraktivitas di ladang atau kebun antara lain;
  1. Baka boko (Toraja) adalah wadah untuk menyimpan hasil panen seperti kopi atau jagung
  2. Barassang (Toraja) adalah tempat menyimpan makanan
  3. Bila (Bugis) adalah buah maja untuk menyimpan air minum
  4. Bangkung Lampe (parang panjang) untuk menebang pohon atau menebas alang-alang/rumput liar
Ruang Budaya Pesisir
Ruang budaya pesisir
Lukisan ketangguhan masyarakat nelayan Sulawesi Selatan  mengarungi lautan
Lepa-Lepa…Pada umumnya masyarakat Sulsel mengenal beberapa rangkaian upacara sebelum memulai kegiatan penangkapan ikan, baik di sungai maupun di laut. Khusus di daerah Bugis mengenal adanya upacara adat “Ma’Rimpa Salo” atau “menghalau ikan sungai”, ini dimaksudkan sebagao satu cara menangkap ikan di air tawar/sungai. Ikan-ikan dihalau dari hulu sungai menuju muara, diiringi dengan tabuhan gendang bertalu-talu dan bunyi-bunyian lainnya yang terbuat dari bambu dengan harapan ikan akan berkumpul di suatu tempat dan memudahkan untuk ditangkap. Adapun sarana yang biasa digunakan untuk menangkap ikan tersebut salah-satunya adalah Lepa-Lepa.

Lepa-Lepa
Lepa-Lepa adalah salah satu sarana yang dipergunakan untuk penangkapan ikan di sungai, danau dan laut dangkal juga sebagai alat transportasi antar pulau terdekat. Bahan yang digunakan dalam pembuatan perahu lepa-lepa biasa memakai jenis kayu yang ringan dan tahan terhadap air seperti kayu pude. 

Bagang Perahu…Bagang adalah salah satu sarana yang dipergunakan untuk menangkap ikan di sungai, danu dan laut. Bagang terdiri dari bagang tancap, bagang rakit/bagang monang, dan bagang perahu (memakai satu atau dua perahu) berfungsi sebagai tempat nelayan memasang dan menunggu jaringnya. Bagang perahu ini digunakan untuk menangkap ikan di tengah laut dan dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tradisi nelayan Bugis Makassar, sebelum melaut terlebih dahulu melaksanakan upacara maccera tasik/maccera tappareng (untuk danau dan sungai), upacara ini dipimpin oleh Ponggawa Pakkaja (Penghulu Nelayan) pada upacara ini diadakan pemotongan hewan seperti : kerbau, kambing atau sapi kemudian disajikan bersama sokko patan rupa (ketan 4 warna) putih, hitam, merah dan kuning. Acara seremonial ini bertujuan untuk memohon doa restu yang Mahakuasa agar selama penangkapan ikan diberi rezeki dan keselamatan.
Bagang perahu
Peralatan Menangkap Ikan….Nelayan atau pakkaja (Bugis) adalah orang-orang yang pekerjaannya menangkap ikan baik di sungai, di danau maupun di laut. Pada umumnya nelayan di Sulawesi Selatan menangkap ikan dengan peralatan yang dibuat sendiri sesuai kebutuhan. Peralatan itu antara lain:
  1. Kalulu dipakai di sungai, danau dan laut dangkal
  2. Tangalak dipakai di air tawar dan rawa-rawa
  3. Jala buang dipakai di sungai, empang/tambak, danau dan laut dangkal
  4. Bubu dipakai untuk menangkap ikan di sungai
Peralatan menangkap ikan tradisional
Ruang Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
Di ruangan ini kita akan menemukan informasi yang menceritakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Sulawesi Selatan : Makassar, Pare-Pare, Watampone,dan Palopo. Juga informasi tentang  sejarah etnis pendatang di Makassar (Melayu, China, Arab, dll).

Ruang pertumbuhan & perkembangan kota-kota di Sulawesi Selatan
Sepeda di masa lampau
Bendi yang kini tinggal kenangan

Demikianlah penjelasan panjang lebar tentang apa saja informasi yang ada di Museum La Galigo, Fort Rotterdam. Cerita sejarah yang bagi kebanyakan kita adalah membosankan. Museum adalah sumber pengetahuan sejarah peradaban bangsa. Jika kita tak mengunjungi museum, berarti kita tidak perduli pada sejarah bangsa. Tak perduli pada sejarah bangsa lambat laun akan membuat kita melupakan budaya dan tradisi. Tanpa budaya dan tradisi, negara akan kehilangan jiwanya. Museum di hatiku. Jadi,  berkunjung ke Fort Rotterdam jangan lupa melihat sejarah di Museum La Galigo. Ayo ke Museum!

Peta Lokasi Museum La Galigo, Fort Rotterdam



No comments:

Post a Comment