Wednesday 17 May 2017

Sepanjang Jalan dari Pekanbaru ke Siak Sri Indrapura

Kalau bukan karena diberi tahu Lila, aslinya saya tak tahu apa nama jalan/daerah yang kami lewati. Dari Kota Pekanbaru langsung masuk ke Kabupaten Siak. Ooh, ternyata kini kami sedang berada di Maredan. Awalnya menyusuri jalan raya beraspal mulus, Lila mengambil jalan pintas melewati jalan perkebunan. Jalan ini membawa kami ke sebuah jembatan panjang di atas Sungai Siak. Kami pun menepi di sisi kiri jembatan.
Melihat Sungai Siak dari Jembatan Perawang (02/02/2017)

Jembatan Sultan Syarif Hashim atau Jembatan Perawang, begitulah nama jembatan ini. Namanya diambil dari nama Sultan Siak yakni ayah dari Sultan Syarif Kasim II, Sultan ke-12 Kesultanan Siak. Jembatan Sultan Syarif Hashim menghubungkan dua desa yakni Desa Tualang & Desa Maredan di Kabupaten Siak. Jembatan yang diresmikan tahun 2011 ini memiliki panjang 1,4 km. Infonya keberadaan jembatan ini dapat memperpendek jarak dan waktu tempuh Jalan Lintas Timur Sumatera. Dari Minas ke Pangkalan Kerinci tak perlu lewat Kota Pekanbaru, lewat jembatan ini shortcut via Perawang lebih memperpendek jarak. Uniknya jembatan ini malah dianggap sebagai objek wisata. Lihat saja, ada saja wisatawan jembatan yang berhenti untuk sekedar berfoto, termasuk saya :). Dan ada pula pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman ringan. 

  
  
Jembatan Sultan Syarif Hashim atau Jembatan Perawang, Kabupaten Siak

Tengah hari di perjalanan, perut mulai lapar. Kita pun melipir ke sebuah warung mie ayam bakso, langganan Lila. Ketika pulang pergi dari Sungai Mandau ke Pekanbaru, favoritnya mampir di sini. "Anyway, jauh - jauh ke Riau, kok kulinerannya mie ayam bakso kak?" . Hehe, pantas saja favorit, saya saja langsung suka mie ayam bakso ala warung ini. Benar-benar enak. Dan lagi minum es cendol duriannya yang bikin segar. Kulineran pertama di Siak yang buat saya kangen nantinya :).

Dari ibukota Kecamatan Tualang yakni Perawang, Lila terus memacu motor. Melewati pabrik kertas terbesar di Asia Tenggara. Satu jam perjalanan, kini kami berada di sebuah desa dengan hamparan sawah padi di kiri kanan jalannya. Katanya ini masuk Kecamatan Sungai Mandau. Di sinilah desa pertanian padi varietas unggul binaannya. Dengan semangat Lila bercerita bagaimana lahan ini dulunya. Bagaimana lahan gambut asam yang tak produktif bisa disulap jadi lahan persawahan padi yang subur. Khayalan saya; seandainya desa ini dikembangkan jadi destinasi wisata agrowisata, pasti lah keren.

Selanjutnya Lila mengajak saya ke sebuah kolam bekas galian di tengah – tengah perkebunan sawit dan karet. Warnanya hijau membuatnya menarik jadi objek foto. Jadi buah bibir masyarakat lokal, kolam hijau ini pun menjadi destinasi wisata. Dekat dengan Pesantren Gontor, masyarakat lokal menyebutnya Danau Gontor. Berada di sini, ingatan saya terbang jauh ke kolam bekas galian tambang di tempat kerja saya, haha. Piknik ke kolam bekas galian ala Siak saja buat bahagia. 

  
Kolam hijau di Sungai Mandau, Kabupaten Siak

Selanjutnya kami kembali singgah. Kali ini mampir sejenak ke rumah kakaknya Lila, tempat tinggal Lila ketika bertugas di Sungai Mandau. Di kampung ini belum ada listrik. Penduduknya masih pakai genset pribadi. “Semoga sebentar lagi listriknya masuk” kata Lila. Saya speechless, tak menyangka di provinsi terkaya se-Indonesia ini masih ada daerah yang belum dialiri PLN. Oh iya, di Pulau Mendol (Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan) sana, dimana dulu Lila pernah tinggal, jangankan listrik dan sinyal telekomunikasi bahkan pulau itu belum tersentuh pembangunan. Begitulah cerita Lila. Ahh, mendengar ceritanya saya merasa bersyukur meskipun domisili saya notabenenya  berada di hutan Kaltara, listrik ada dan kualitas sinyal telekomunikasi tak kalah bagus dengan di kota.

Perjalanan naik motor ke Siak pun berlanjut. Lila membalap, menyusuri jalan beraspal  lurus panjang bergelombang membelah hutan akasia. Rasa-rasanya dari tadi kami hanya melewati pepohonan akasia. Selang seling ada yang menjulang tinggi dan ada yang baru ditanam. Inilah hutan produksi, sumber bahan baku kertas pabrik Parewang yang kami lewati sebelumnya. Pantas saja terbesar se Asia Tenggara, sejauh mata memandang pohon akasia merajai tanah sekabupaten Siak.

  
  
Pohon akasia merajai tanah sepanjang jalan menuju Kota Siak
  
Dari panorama hutan akasia berubah jadi dominasi pohon sawit di lahan gambut. Perjalanan kami sedikit lagi mencapai ibukota Kabupaten Siak yakni Kota Siak Sri Indrapura

  
Senangnya hampir sampai di Kota Siak 

Begitu memasuki Kota Siak Sri Indrapura, kotanya bersih, pepohonan memberi kesan sejuk dan suasana jalanan utamanya lengang begitulah potret ibukota Kabupaten Siak. 

  
  
Kota Siak Sri Indrapura

Siak Sri Indrapura berjarak sekitar 101 km sebelah timur laut Pekanbaru. Bila berkendara non stop butuh waktu 2 jam perjalanan.
(sumber gambar : google map)


No comments:

Post a Comment