Kalau bukan karena diberi tahu Lila, aslinya saya tak tahu apa nama
jalan/daerah yang kami lewati. Dari Kota Pekanbaru langsung masuk ke Kabupaten Siak. Ooh, ternyata kini kami sedang berada di Maredan.
Awalnya menyusuri jalan raya beraspal mulus, Lila mengambil jalan pintas
melewati jalan perkebunan. Jalan ini membawa kami ke sebuah jembatan panjang di atas Sungai Siak. Kami
pun menepi di sisi kiri jembatan.
Melihat Sungai Siak dari Jembatan Perawang (02/02/2017) |
Jembatan Sultan Syarif Hashim atau Jembatan Perawang, begitulah
nama jembatan ini. Namanya diambil dari nama Sultan Siak yakni ayah dari
Sultan Syarif Kasim II, Sultan ke-12 Kesultanan Siak. Jembatan Sultan Syarif
Hashim menghubungkan dua desa yakni Desa Tualang & Desa Maredan di
Kabupaten Siak. Jembatan yang diresmikan tahun 2011 ini memiliki panjang 1,4
km. Infonya keberadaan jembatan ini dapat memperpendek jarak dan waktu tempuh
Jalan Lintas Timur Sumatera. Dari Minas ke Pangkalan Kerinci tak perlu lewat
Kota Pekanbaru, lewat jembatan ini shortcut via Perawang lebih
memperpendek jarak. Uniknya jembatan ini malah dianggap sebagai objek
wisata. Lihat saja, ada saja wisatawan jembatan yang berhenti untuk sekedar
berfoto, termasuk saya :). Dan ada pula pedagang kaki lima yang
menjajakan makanan dan minuman ringan.
Jembatan Sultan Syarif Hashim atau Jembatan Perawang, Kabupaten Siak
Tengah hari di perjalanan, perut
mulai lapar. Kita pun melipir ke sebuah warung mie ayam bakso,
langganan Lila. Ketika pulang pergi dari Sungai Mandau ke Pekanbaru, favoritnya mampir di sini.
"Anyway, jauh - jauh ke Riau, kok kulinerannya mie ayam bakso kak?" . Hehe, pantas saja favorit, saya saja langsung suka mie ayam bakso ala warung ini. Benar-benar enak. Dan lagi minum es cendol duriannya yang bikin segar. Kulineran pertama di Siak yang buat saya kangen nantinya :).
Dari ibukota Kecamatan Tualang yakni Perawang, Lila terus memacu
motor. Melewati pabrik kertas terbesar di Asia Tenggara. Satu
jam perjalanan, kini kami berada di sebuah desa dengan hamparan sawah padi di
kiri kanan jalannya. Katanya ini masuk Kecamatan
Sungai Mandau. Di sinilah desa
pertanian padi varietas unggul binaannya. Dengan semangat Lila bercerita bagaimana
lahan ini dulunya. Bagaimana lahan gambut asam yang tak produktif bisa disulap jadi lahan persawahan padi yang subur. Khayalan saya; seandainya desa ini dikembangkan jadi destinasi wisata agrowisata, pasti lah keren.
Selanjutnya Lila mengajak saya ke sebuah kolam bekas galian di tengah –
tengah perkebunan sawit dan karet. Warnanya hijau membuatnya menarik jadi objek
foto. Jadi buah bibir masyarakat lokal, kolam hijau ini pun menjadi
destinasi wisata. Dekat dengan Pesantren Gontor, masyarakat lokal menyebutnya Danau Gontor. Berada di sini, ingatan saya terbang jauh ke kolam bekas galian tambang di tempat kerja saya, haha. Piknik ke kolam bekas galian ala Siak saja buat bahagia.
Kolam hijau di Sungai Mandau, Kabupaten Siak
Selanjutnya kami kembali singgah. Kali ini mampir sejenak ke rumah kakaknya Lila, tempat tinggal Lila ketika bertugas di
Sungai Mandau. Di kampung ini belum ada listrik. Penduduknya
masih pakai genset pribadi. “Semoga sebentar lagi listriknya masuk” kata Lila. Saya
speechless, tak menyangka di provinsi
terkaya se-Indonesia ini masih ada
daerah yang belum dialiri PLN. Oh
iya, di Pulau Mendol (Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan) sana, dimana dulu Lila
pernah tinggal, jangankan listrik dan
sinyal telekomunikasi bahkan pulau itu belum tersentuh
pembangunan. Begitulah cerita Lila. Ahh, mendengar ceritanya saya merasa
bersyukur meskipun domisili saya notabenenya berada di hutan
Kaltara, listrik ada dan kualitas sinyal telekomunikasi tak kalah bagus dengan di kota.
Perjalanan naik motor ke Siak pun berlanjut. Lila membalap, menyusuri jalan beraspal lurus panjang bergelombang membelah hutan
akasia. Rasa-rasanya dari tadi kami hanya melewati pepohonan akasia. Selang seling ada yang
menjulang tinggi dan ada yang baru ditanam. Inilah hutan produksi, sumber bahan
baku kertas pabrik Parewang yang kami lewati sebelumnya. Pantas saja terbesar
se Asia Tenggara, sejauh mata
memandang pohon akasia merajai tanah sekabupaten Siak.
Pohon akasia merajai tanah sepanjang jalan menuju Kota Siak
Dari panorama hutan akasia berubah jadi dominasi pohon sawit di lahan gambut. Perjalanan kami sedikit lagi mencapai ibukota Kabupaten Siak yakni Kota Siak Sri Indrapura.
Senangnya hampir sampai di Kota Siak
Begitu memasuki Kota Siak Sri Indrapura, kotanya bersih, pepohonan memberi kesan sejuk dan suasana jalanan utamanya lengang begitulah potret i bukota Kabupaten Siak.
Kota Siak Sri Indrapura
Siak Sri Indrapura berjarak sekitar 101 km
sebelah timur laut Pekanbaru. Bila berkendara non stop butuh waktu 2 jam perjalanan. (sumber gambar : google map) Selanjutnya.... 3 Jam Jalan - Jalan di Siak Sri Indrapura |
No comments:
Post a Comment