Sunday 21 May 2017

Jelajah Wisata Ikonik Kota Padang dengan Berjalan Kaki

Kalau membayangkan kata Padang, yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya pastinya nasi padang. Secara makanan favorit si kakak ya nasi padang. Lauk rendang, daun ubi rebus, kuah gulai dan sambal balado. Ya ampun kak, membayangkan kuliner yang tersohor ini jadi lapar kan? Baiklah, untuk pertama kalinya di #travelscapeengineer saya mau berbagi cerita tentang jalan – jalan saya di Kota Padang. Apa saja destinasi wisata ikonik Kota Padang? Nah, berikut ulasan beberapa destinasi wisata ikonik Kota Padang yang bisa kakak kunjungi sekaligus dengan berjalan kaki ;

Kota Padang....Ibukota dari Provinsi Sumatera Barat ini merupakan kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera. Kotanya sebagian besar berkontur dataran rendah nan luas dimana di bagian barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan di bagian utara, timur hingga selatan dikelilingi wilayah perbukitan yakni jajaran Bukit Barisan dengan ketinggian mencapai 1.853 mdpl. Topografi Padang mengingatkan saya pada Sibolga, kota di pantai barat Provinsi Sumatera Utara yang pernah saya kunjungi tahun 2015. Dari wisata perbukitan, kota hingga wisata laut, juga ada di Padang.

Potret Kota Padang dari Puncak Gunung Padang

Minggu, 05/02/2017….Berbekal aplikasi google map, saya memulai jelajah Kota Padang dengan berjalan kaki dari tempat saya menginap yakni dari bilangan Jalan Jenderal Ahmad Yani. Tak jauh, sekitar 750 meter ke barat mengantarkan saya ke pertigaan jalan yang langsung bebas menghadap laut.  Inilah Jalan Samudera, jalan raya yang sejajar dengan garis pantai Kota Panjang. Pantainya dikenal dengan nama Pantai Padang. Garis pantainya yang panjang membuat pantai ini menjadi lokasi favorit masyarakat lokal untuk bersantai. Orang lokal biasa menyebut tempat ini dengan nama taplau yang merupakan kepanjangan tapi lauik (dalam bahasa Indonesia artinya tepi laut).

Sebelum menyebrang jalan mendekati tepian pantai, saya melipir dulu ke sebuah gerobak ibu pedagang kaki lima. Sarapan pagi ala Padang ternyata sama saja dengan kampung saya, yakni sepiring lontong sayur. Harganya terjangkau pula, hanya 6.000 IDR.

  
Lontong sayung, sarapan ala masyakat lokal Kota Padang

Memandang panorama pagi di Pantai Padang
Ke pantai bukan pada waktu awal pagi melainkan ketika matahari mulai tinggi, pastinya cuaca terasa terik. Saya pun memilih spot tempat duduk nyaman untuk memandang panorama Pantai Padang. 

Bersantai di Pantai Padang
Memandang bebas ke arah Samudera Hindia yang terbentang luas di depan mata. Diiringi musik latar alami yakni suara hempasan ombak. Sepanjang tepian Pantai Padang terdapat pemecah ombak (breakwater) berupa blok batuan besar. Fungsinya untuk mengendalikan abrasi yang dapat menggerus garis pantai. Ombak yang terbilang tak begitu ganas dengan relief pantai relatif landai membuat Pantai Padang ini aman untuk kegiatan seperti bermain ombak. Hanya saja di beberapa bagian bibir pantai ada yang curam jadi kita tetap harus berhati – hati.  Di sudut lainnya, terlihat kesibukan nelayan yang sedang menarik tali jaring ikan dari tengah laut ke bibir pantai. Bau ikan hasil tangkapan laut pekat tercium.

Puas memandang, saya lanjut berjalan sekitar 1,4 km ke selatan, masih bagian dari tepian Pantai Padang. Melewati lapak - lapak penjual makanan street food. Berbagai olahan seafood, sate padang, dan berbagai makanan khas Padang lainnya ada di sini. Bila lapar, tinggal pilih! 

Menarik jala ikan oleh nelayan lokal di Pantai Padang
Sepi di Pantai Padang
Menyusuri Jalan Batang Arau, Jalan Klasik Kota Padang
Sampai di ujung selatan Pantai Padang, tepat di sisi kanan jalan raya ada muara sungai air tawar persis di kaki bukit, mengalir langsung ke laut Pantai Padang. Namanya Sungai Batang Arau. Ratusan tahun lalu, kawasan sekitar muara Batang Arau merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan Hindia Belanda di Padang.

Saya terus berjalan menyusuri Jalan Batang Arau. Menengok bangunan bergaya kolonial yang masih kokoh berdiri. Perahu - perahu nelayan tertambat di tepian, berwarna - warni  meramaikan panorama tepian Sungai Batang Arau. Hingga sampailah saya di persimpangan jalan dimana di kiri jalan ada sebuah bangunan putih berarsitektur klasik. Inilah Museum Bank Indonesia, Padang. Di atas persimpangan jalan ini ada Jembatan Sitti Nurbaya.

Jalan Batang Aru, Kota Padang
Menapaki Jembatan Sitti Nurbaya
Jembatan Sitti Nurbaya kokoh membentang sepanjang 156 meter di atas Batang Arau. Jembatan yang menghubungkan pusat kota dengan Seberang Padang yakni sebuah perkampungan di kaki Bukit Padang.

Namanya diambil dari novel klasik yang sangat terkenal itu. Apalagi kalau bukan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Novel angkatan Balai Pustaka (1922) yang berkisah tentang kasih tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Sejarahnya Jembatan Siti Nurbaya dibangun tahun 1995. Kemudian diresmikan pada pertengahan tahun 2002, bersamaan dengan kehadiran drama televisi Sitti Nurbaya yang diperankan oleh Novia Kolopaking dan Gusti Randa. Hahhh,,,saya jadi terkenang drama favorit yang selalu saya tunggu-tunggu, menontonnya di TVRI kala itu.

Sebagai jembatan ikonik Kota Padang, banyak yang bilang bahwa Jembatan Sitti Nurbaya merupakan salah tempat nongkrong paling hits ala anak muda di Kota Padang. Makanya belum afdol rasanya ke Padang bila belum berkunjung ke sini.
Menapaki Jembatan Sitti Nurbaya
 
Museum Bank Indonesia, Padang dari Jembatan Sitti Nurbaya (kiri)
Batang Arau dari Jembatan Sitti Nurbaya (kanan)

  
Belum afdol rasanya ke Padang bila belum berfoto di Jembatan Sitti Nurbaya :)

Syahdunya di Jembatan Sitti Nurbaya

Puncak Gunung Padang, Memandang Kota Padang dari Ketinggian
Dari ujung Jembatan Sitti Nurbaya, saya berjalan menyusuri Jalan Kampung Batu sejauh 1,4 km mendekati muara Batang Arau. Hingga menemukan sebuah gerbang bertuliskan Objek Wisata Gunung Padang. Sebelum masuk, warung makan sederhana di tepian Batang Arau memanggil saya untuk mampir. Banyak berjalan membuat saya mudah lapar, hehe. Makan nasi ikan gulai tongkol dan jengkol, sepiring 15.000 IDR. Menyiapkan energi sebelum mendaki ke puncak Gunung Padang.

  
Makanan rumahan di Batang Arau, Padang

Bingung mengapa disebut Gunung Padang bukan Bukit Padang. Padahal ketinggiannya lebih cocok dikatakan sebagai bukit. Entahlah, yang jelas permukaan tanah di sini memang lebih tinggi dari permukan tanah di sekelilingnya dan menjorok ke laut.

Di puncak Gunung Padang terdapat sebuah taman bersantai makanya dinamakan juga Taman Gunung Padang. Atau nama lainnya Taman Sitti Nurbaya karena di sini ada sebuah makam keramat yang oleh masyarakat lokal konon dianggap sebegai makamnya Sitti Nurbaya. Di sana lah lokasi memandang Kota Padang dari ketinggian yang menyuguhkan panorama memukau. Untuk masuk ke kawasan wisata Gunung Padang kita harus membeli karcis tanda masuk dengan harga hanya 5.000 IDR.

Memandang Batau Arau dari perkampungan Gunung Padang
Dari gerbang objek wisata Gunung Padang, saya menyusuri jalan setapak. Permulaannya melewati rumah – rumah penduduk lokal yang menghadap ke Batang Arau. Kemudian melewati bunker peninggalan penjajahan Jepang, ada meriamnya. Kita bisa dengan bebas melihatnya. Menurut cerita dulunya Gunung Padang ini adalah benteng pertahanan Jepang.  Sayangnya, bangunan bersejarah ini terlihat kurang terawat.

  
Memandang laut dari jalan setapak menuju puncak Gunung Padang

Terus berjalan, sisi kanan jalan setapak ada pembatas setinggi setengah badan orang dewasa. Kanan hutan di kaki Gunung Padang, kirinya jurang yang menjorok ke laut. Yang tadinya jalan setapak mendatar kini mulai mendaki. Sampailah saya di jalan tangga selebar kurang lebih 1,5 meter. Dan perjuangan sesungguhnya baru dimulai. Saatnya mendaki sekitar 300 an anak tangga sepanjang 1 km menuju puncak Gunung Padang. “Ayoo kak, ketika berpapasan dengan pengunjung yang baru saja dari puncak, membuat saya merasa gak mau kalah”.

Sebelum sampai ke puncak bukit, pada dinding bebatuan terdapat tanda bertuliskan makam Sitti Nurbaya. Karena lokasi makam tersebut berada di antara dinding bebatuan yang sempit, saya pun tak mampir hanya sekilas lalu. Terus menanjaki anak tangga hingga ke puncak.

  
Tangga menuju puncak Gunung Padang
Tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata taman di puncak Gunung Padang itu berupa pelataran yang lumayan luas. Pepohonan waru nan rindang membuat suasananya sejuk. Ada dua gazebo masing- masing di utara dan selatan. Salah satu gazebo menjadi tempat lapak penjual minuman dan makanan ringan. Jadi tak perlu khawatir bila kita kehabisan bekal minum. Ada juga beberapa kursi semen permanen untuk tempat bersantai. Adzan zuhur bergema hingga ke sini. Pengunjung muslim pun menjadikan pelataran puncak bukit Padang menjadi tempat untuk menunaikan shalat.

Panorama dari puncak Bukit Padang ini tak perlu diragukan lagi. Rasa lelah mendaki terbayar sudah. Berdiri di bagian utara tersuguh pemandangan seantero Kota Padang diapit jajaran Bukit Barisan dan Samudera Hindia. Dan di bagian selatan tersuguh pemandangan Pantai Air Manis menghadap lautan luas dengan pulau – pulau kecilnya nan cantik di sekelilingnya. MashaAllah.

Memandang laut dari puncak Gunung Padang
Wajah Kota Padang dari puncak Gunung Padang
Puas memandang di puncak Gunung Padang, saya kembali turun. Destinasi selanjutnya adalah Pasar Raya Kota Padang. Kali ini saya memilih untuk naik angkot saja, naiknya tak jauh dari gerbang Objek Wisata Gunung Padang. Energi saya cukup terkuras untuk mendaki puncak Gunung Padang tadi. Lagipula jauh sangat bila saya harus jalan kaki :). Ongkos angkot berwarna biru ke Pasar Raya, ongkosnya hanya 4.000 IDR. 

Lapangan Imam Bonjol, Ruang Terbuka Hijau Kota Padang 
Tadinya saya mau masuk ke Pasar Raya. Namun, saking ramainya saya pun membatalkan niat untuk menjelajah pasar tradisional terbesar di Kota Padang ini. Saya lalu berjalan sekitar 600 meter ke Jalan Moh. Yamin, mendatangi sebuah lapangan rumput hijau yang sangat luas.

Lapangan Imam Bonjol, Kota Padang
Lapangan Imam Bonjol, begitulah namanya. Sebuah lapangan di Padang yang punya sejarah yang panjang. Pada jaman Hindia Belanda namanya Plein van Rome yang berarti Stadion Roma. Pada saat itu lapangan ini difungsikan sebagai alun – alun. Kemudian pada masa pendudukan Jepang, lapangan ini diberi nama Nanpo Hondo yang berarti Angin dari Selatan. Setelah kemerdekaan, sempat dijadikan sebagi kompleks stadion, namanya Stadion Benteng. Setelah berdirinya Stadion Gelora Haji Agus Salim (markas klub sepak bola Semen Padang dan PSP Padang), pemerintah menyematkan nama Imam Bonjol untuk lapangan ini (sumber : wikipedia).

Kini Lapangan Imam Bonjol, difungsikan sebagai sebagai ruang terbuka hijau di pusat Kota Padang. Di sisi baratnya dibatasi sebuah bangunan tribun yang bentuknya berupa rumah adat Minangkabau, rumah gadang dengan atap melengkung dan memiliki anjungan pada masing-masing sayap. Dan di sisi timur lapangan terdapat hutan kota, taman kota yang dipenuhi pepohonan rimbun menjulang tinggi. Bila kita menengok ke sekeliling bagian luar Lapangan Imam Bonjol, terdapat berbagai kantor dan bangunan penting yang juga telah ada sebelum kemerdekaan masi. Di antaranya Balai Kota Padang di sisi utara.

Tribun penonton berarsitektur gadang menghadap lapangan hijau
Berbagai lapak penjual kuliner, banyak pilihannya di sini. Favorit saya tentu saja makan sate padang. Satu piring sate harganya 10.000 IDR. Berwisata taman kota sembari menikmati kuliner khas itulah wisata masyarakat lokal ala Kota Padang yang tak boleh dilewatkan.

Sate Padang di Kota Padang :)

Belajar Sejarah di Museum Adityawarman
Wisata pantai sudah, wisata bukit gunung, wisata kulineran apalagi, wisata taman kota sudah. Waktunya berwisata museum. Karena museum adalah miniatur sejarah peradaban bangsa, kita perlu tahu sejarah/budaya masyarakat lokal dalam tampilan museumnya Kota Padang.

Potret trotoar pejalan kaki, Kota Padang

Dengan panduan google map lagi, dari Lapangan Imam Bonjol saya berjalan ke arah barat daya, sejauh 1,4 km. Tujuan saya yakni Museum Adityawarman, persimpangan Jalan Gereja dan Jalan Diponegoro itu penanda keberadaan bangunan museum ini. Hampir pukul setengah empat sore, sebentar lagi museumnya tutup, saya pun mempercepat langkah ke museum. Sebelumnya bayar tiket masuk dulu,  murah meriah hanya 3.000 IDR.

Museum Adityawarman memiliki julukan Taman Mini ala Sumatera Barat. Iniah salah satu museum terpenting di Sumatera Barat. Berdiri di tengah lahan seluas 2,6 hektar, museum dengan luas bangunan sekitar 2.855 meter persegi ini dibangun dengan arsitektur khas tradisional Minangkabau yakni rumah gadang. Rumah panggung dengan atap meniru bentuk seperti tanduk kerbau yang bertumpuk.

Menjelajah di dalam museum, seperti lorong waktu yang membawa kita ke masa kerajaan – kerajaan yang pernah memerintah di Ranah Minang dalam lintasan jaman. Menengok berbagai peninggalan kebudayaan Minangkau dari masa prasejarah hingga era modern. Kategori koleksi museum berupa Geologika/Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika /Heraldika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa  dan Teknologika.

Favorit saya yakni melihat koleksi beragam pakaian adat Minangkabau lengkap dengan pernak - pernik perhiasan tradisionalnya. Duh cantiknya, buat saya mupeng ingin mengenakan pakaian adat Minang. Ada instrumen musik, replika sajian kuliner khas dalam berbagai upacara adat dan berbagai perkakas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Minangkabau.

Tugu proklamasi dan Museum Adityawarman

 
Ragam pakaian adat Minangkabau

Begitu memasuki ruangan Museum Bencana Kota Padang, bernafas seakan terasa sesak.  Foto - foto yang dipajang merupakan refleksi kenangan gempa dan bencana yang pernah terjadi di Sumatera Barat khususnya Kota Padang. Ketika menengok foto – foto mereka yang meninggal ketika gempa 7.9 SR mengguncang Padang pada 30 September 2009. Kenal mereka tidak tetapi memandangnya membuat hati sedih. "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali ”. (Al-Baqarah 2:156)

Melalui museum ini kita kembali diingatkan bahwa kekayaan alam dan keindahan alam semesta serta ancaman bencana merupakan kasih sayang Allah Sang Maha Pencipta kepada ummat-Nya, agar kita selalu ingat akan kebesaranNya. Dibalik semua kisah bahagia, perih dan duka akibat bencana yang dialami manusia terdapat pelajaran bahwa kita dituntut lebih menghargai alam semesta sebagai tempat kehidupan kita. Subhannallah…Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari museum yang super keren punya Kota Padang ini.

  
Belajar makna hidup di Museum Bencana Kota Padang

Demikianlah jalan – jalan saya menjelajah wisata ikonik Kota Padang hari ini. Ditutup dengan menengok Monumen Korban Gempa 2009 yang letaknya tak jauh dari Museum Adityawarman. 

Langit Kota Padang, 5 Februari 2017

No comments:

Post a Comment