Monday 29 September 2014

Pengalaman Perdana Mendaki Gunung Dempo



Tiba-tiba saya kembali terkenang ke 2009 tepatnya sewaktu semester enam di bangku kuliah. Hyaa..ketahuan sudah angkatan tua' ya kak? :). Ceritanya...saya bukanlah anak organisasi pecinta alam di kampus. Belum pernah mendaki gunung, trekking atau apalah nama kegiatan ekstrim sejenisnya. Cerita lain bermula ketika saya mengikuti kegiatan pendakian bersama Gunung Dempo yang diadakan oleh teman-teman mapala Cikara Bhuana Teknik Pertambangan Unsri.

Mungkin akibat rasa bosan dengan rutinitas kampus ala mahasiswa tingkat akhir. Jadi ingin rasanya break atau sekedar liburan singkat. Entah terinspirasi darimana, yang ada di dalam pikiran waktu itu saya harus ikut kegiatan ini (titik). Kegiatan liburan santai berubah versi menjadi pendakian gunung.  Kapan lagi coba mendaki gunung untuk pertama kali bersama teman-teman yang memang sudah ahlinya di bidang ini.

24 April 2009  : Keberangkatan dari sekret CB, Kampus Unsri Indralaya (meeting point)
Karena kegiatan ini adalah agenda resmi mapala Cikara Bhuana (CB) tentulah ada opening seremonial dari panitia pelaksana. Peserta terdiri dari 20 orang dari berbagai jurusan (rata-rata sih anak teknik) yang kesemuanya adalah pendaki pemula atau bahkan pendaki perdana seperti saya. Sebelum keberangkatan panitia memberikan briefing. Memastikan kelengkapan peralatan pendakian, logistik yang dibutuhkan dan terutama memastikan bahwa kondisi pendaki dalam keadaan sehat walafiat.

Courtesy of Cikara Bhuana, 2009

Jam 3 sore memulai perjalanan darat dengan bus selama kurang lebih 7 jam dari Indralaya menuju Pagaralam.

Udara dingin menusuk tulang adalah sambutan khas daerah pegunungan begitu tiba di Pagaralam. Adalah rumah ayah Anton yang memang sudah terkenal di kalangan pendaki Dempo menjadi tempat basecamp pendakian. Rumah kayu kecil di halaman belakang rumah ayah Anton ini memang sengaja diperuntukkan untuk para pendaki bermalam di sini.

25 April 2009 : Dari kawasan Pabrik Teh PTPN III (rumah ayah Anton) naik truk perkebunan menuju Tugu Rimau (titik awal pendakian Gunung Dempo)
Pagi hari kami diajak berjalan kaki melalui jalanan setapak berbatu, kemudian menyusuri hamparan perkebunan teh, naik turun jalan licin di dalam hutan. Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah air terjun atau curup (bahasa setempat). Yaaa, agenda pagi hingga menjelang siang yaitu kegiatan santai di curup (saya lupa apa namanya). Ada yang menyeburkan diri ke air,  sekedar duduk, bercerita, tertawa, dan tentunya  berfoto ria.


Menjelang siang kita kembali ke basecamp (rumah ayah Anton). Inilah kemudahan ikut kegiatan pendakian yang notabene nya sudah ada yang mengorganisir. Tinggal mengikuti intruksi dari panitia. Peserta kembali diingatkan untuk membawa keperluan pribadi seperlunya dan semampunya saja agar tidak merepotkan saat pendakian. Sebagai pendaki pemula, tentu saja di antara kami banyak yang salah style terutama sepatu/alas kaki yang dipakai. Terpaksa saya meninggalkan sepatu kets hitam putih kesayangan saya di basecamp. Karena memang tidak cocok dipakai di medan terjal dan licin. Baeklah, atas saran ayah Anton lebih baik kami menggantinya dengan sepatu hitam (apa ya namanya ?) karet dengan tapak bergerigi . Sepatu ini biasanya dipakai para pemetik teh di pagaralam. Meskipun harganya hanya 10 ribu saja, tetapi sangat nyaman dipakai dan tentunya tangguh di medan berat. Jadilah saya yang diantar ayah Anton membeli beberapa pasang sepatu legendaris ini ke pasar terdekat di kota Pagaralam.

Sore hari truk terbuka membawa kami dari Kampung I menuju Tugu Rimau. Jalanan cukup mulus, semakin lama semakin naik dan berkelok-kelok menyusuri hamparan hijau teh. Kota Pagaralam semakin terlihat kecil sedangkan Gunung Dempo semakin terlihat kokoh berdiri. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah lukisan alam serba hijau nan indah. MashaAllah!!..Kami yang berdiri berimpit-impitan di bak truk sesekali berteriak ketika momen truk sedang melaju dengan kecepatan tinggi berbelok di setiap tikungan jalan yang berkelok-kelok .

 Selfie di atas truk versi 2009 (Courtesy of Cikara Bhuana)

Pagaralam, Sumatera Selatan

Gunung Dempo

Tugu Rimau  (1.820 mdpl) : Titik awal pendakian Gunung Dempo
Di sini kami menginap satu malam sebelum melakukan pendakian keesokan paginya. Tersedia kamar mandi umum dan sebuah musolla. Baik itu panitia dan peserta berbagi tugas mendirikan tenda dan yang lain bertugas menyiapkan makan malam. Ohh iaa, sebelumnya kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, terdiri 3 orang peserta dengan penanggung jawab 1  orang dari panitia .

Meskipun sederhana, menu santap malam berupa sepiring nasi, ikan sarden dan mie instan rebus tetap berasa nikmat. Malam harinya kami berkumpul sekedar bercerita dan menghangatkan diri di depan api unggun.

Sekedar info...Tips cara cepat menyesuaikan diri dengan udara dingin pegunungan. Entahlah apakah ini benar apa tidak. Anda harus mengguyur air sedingin es itu ke seluruh tubuh (baca : mandi) untuk menyesuaikan diri. Berani mencoba kak?.

26 April 2009 : Melalui jalur pendakian dari Tugu Rimau menuju puncak Dempo (3.159 mdpl)
Belum juga matahari muncul dari peraduannya. Semburat langit berwarna jingga begitu indah memayungi Pagaralam yang masih ditutupi kabut putih di bawah sana. Perlahan cahaya mentari pagi mulai menyejukkan. Kami pun bersiap-siap untuk melakukan pendakian. 

 Sunrise view from here "Tugu Rimau"

Semakin indah di kala sang surya menyinari tanah negri Besemah

Sesaat sebelum memulai pendakian  (Courtesy of Cikara Bhuana)

Bismillah...
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jalur pendakian yang dilewati sangatlah ekstrim. Dari awal pendakian, kami sudah harus membiasakan diri dengan kondisi medan menanjak dan licin. Seingat saya hanya ada 2 shelter (perhentian) sebelum mencapai Puncak Dempo. Jarak dari shelter satu ke yang lain lumayan jauh pula. Semakin mendekati puncak,  medan yang dihadapi semakin ekstrim. Beberapa  tanjakan terjal hampir memiliki kemiringan 90 derajat hanya bisa dilewati dengan fasilitas tali tambang. Tidak hanya mendaki tetapi juga memaksa kami untuk merayap, merosot, melompat bahkan bergelantungan di seutas tali. Beruntung panitia begitu cekatan, selalu memberi info apabila ada kondisi bahaya di depan kami. Diperlukan kerjasama tolong menolong antara pendaki satu dengan yang lain untuk  melalui tanjakan terjal ini. (fiuhhh,,sambil menulis cerita ini kembali saya teringat betapa menguras tenaga waktu itu). 

 Narsis nya tetap ya' :))

Pemandangan di awal pendakian melalui hutan dengan vegetasi heterogen dimana sering terdapat akar-akar melintang berubah menjadi vegetasi tumbuhan berpohon rendah dan semakin rendah mirip perdu,  beberapa daerah agak terbuka, pandangan pun menjadi luas. Inilah tanda-tanda Puncak Dempo semakin dekat.

Setelah 7 jam bergelut dengan medan tanjakan tanpa henti, akhirnya kesampain juga berada di Top Dempo. Senangnya tiada terkira :)).

Alhamdulillah ...Top Dempo, here I was.

Sebelum hari benar-benar gelap, buru-buru kami melanjutkan berjalan kaki melewati berbatuan tajam menuruni Puncak Dempo menuju Pelataran. Pelataran adalah lembah di antara 2 puncak Gunung Dempo yaitu puncak utama (Top Dempo) dan Puncak Merapi. Di lembah ini kami mendirikan tenda untuk bermalam. Kemudian menikmati suasana sunrise di puncak satunya lagi keesokan harinya. 

Hayoo,,siapa yang bisa tidur nyenyak di tenda dengan suhu rendah hampir nol derajat. Semakin dini hari suhu dingin semakin menggila. Apalagi pendaki perdana seperti saya yang pertama kali merasakan dinginnya udara bercampur semilir angin malam yang menusuk tajam hingga ke tulang. Teman-teman CB tentunya sudah terbisa sehingga mereka begitu menikmati suasana begini bahkan di luar tenda. Kemudian saya beranjak ke delam tenda Kak Nina dan Bang Bondan. Kak Nina sama seperti saya pertama kali mendaki gunung. Jadilah kami berusaha menghangatkan diri dengan bercerita dari topik satu topik lain dan tertawa haha hihi sepanjang malam. Hingga akhirnya tanpa sadar kami pun tertidur.

27 April 2009 : Puncak Merapi 
Belumlah pagi, kami harus bergerak mengumpulkan sisa-sisa tenaga menuju Puncak Merapi. Puncak Merapi terletak tidak jauh dari pelataran. Mendaki lereng yang kemiringannya tidaklah seekstrim ketika kami mencapai Puncak Dempo kemarin. Kali ini saya mencoba mendaki pakai sendal jepit. Menempuh medan berbatu kerikil. Kurang lebih 25 menit untuk mencapai Puncak Merapi. 

Puncak Merapi memiliki kawah dengan diameter sekitar seratus meter persegi.  Terlihat jelas guratan perlapisan batuan mengelilingi kawah. Warna kawah pun berubah-ubah sesuai tingkat aktivitas magma di dalamnya. 

Hamparan pemandangan serba biru dan hijau berdampingan dengan gumpalan awan putih. MashaAllah...

Meskipun hanya sesaat melihat keindahan pemandangan  di sini. Masih teringat jelas oleh saya hingga sekarang.

Kelihatan dekat di seberang Puncak Merapi, hamparan daratan provinsi Bengkulu. Lembah di bawah sana terasa hening, hanya terdengar hembus angin.

Jam 10 pagi kembali ke pelataran. Mengemasi kembali perlengkapan pendakian. Meninggalkan puncak Gunung Dempo. Turun gunung kami melalui jalur yang berbeda dari jalur naik. Mendaki maupun menurun sama-sama saja beratnya. Toh lereng curam dan licin tetap saja ditemui. Harus ekstra hati-hati dan konsentrasi meskipun tenaga yang tersisa sudah tidak mampu. Sampai juga di Pintu Rimba setelah menuruni lereng selama kurang lebih 4.5 jam. Meskipun hanya sedikit energi yang tersisa tetap aja masih ada stok untuk bernarsis ria di Pintu Rimba. Rasa capek ternyata belum berkesudahan. Kami harus berjalan kaki lagi menyusuri perkebunan teh selama kurang lebih 1 jam menuju Kampung IV. Tempat dimana menunggu truk yang akan mengantar kami kembali ke basecamp. Dan akhirnya, bus Melati Indah membawa kami kembali ke Indralaya di malam harinya. 

Bye Gunung Dempo. Sampai bertemu di lain kesempatan.
 
Wajah tetap ceria di depan kamera meskipun energi hampir ludes :)


Ohhh iyaa,, saya mendapat bonus tak terlupakan lain dari Dempo. Pasca pendakian, saya mengalami keram kaki hingga terlihat bengkak dan berwarna kebiru-biruan. Efeknya, saya berjalan terpincang-pincang ke kampus selama 5 hari. 

Sungguh pengalaman perdana mendaki gunung yang tak terlupakan, bahkan hingga kini setelah 4.5 tahun kemudian.

Tidak semua pendaki memiliki ketahanan fisik yang sama. Karena kebersamaan, saling tolong menolong, mengingatkan kemungkinan bahaya, dan semangat jualah kami bisa melalui segala rintangan. Butuh perjuangan!! Dan Alhamdulillah, pendakian tersebut membuat kami mendapat hadiah kenangan yang sangat manis yaitu berada di puncak gunung tertinggi di Sumatera Selatan.

Terimakasih Allah...

Terimakasih panitia pendakian bersama Cikara Bhuana (2009)...
#Mencoba merangkai kembali cerita  melalui memori folder photo "Dempo Fun Hiking" yang telah lama tersimpan.

Lagub, (H-2 field break schedule)

No comments:

Post a Comment